Hukuman Sosial Bagi Para Koruptor
Ketika
negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan
gagasan baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi.
Sebagian besar publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi
koruptor, meski dinilai belum tentu efektif.
Pemberantasan korupsi menjadi agenda
besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal
polemik institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan
dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor
menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah
pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil
menyebutkan, hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang
bebas di pengadilan tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas
vonis hukuman bagi koruptor 1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi
para koruptor melewati ”masa penderitaan” ketimbang pelaku kriminal
biasa yang bisa mencapai beberapa kali lipat masa hukumannya.
Tiga dari empat responden jajak pendapat
melihat kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu
ringan dan dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme
terhadap upaya pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat
kali ini. Hampir seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di
berbagai kota mengungkapkan ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku
korupsi saat ini.
Pukulan telak bagi proses wacana dan
gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa
atau narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik.
Peristiwa paling baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana
2,5 tahun penjara dalam kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah berpedoman pada argumen
ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS
yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi
aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang.
Namun, dari aspek moral dan etika, promosi ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku
Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada
etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral.
Aspek tanggung jawab dan kewajiban
berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat
menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan
jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula
pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya
menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat
antikorupsi.
Promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak
menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi
sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya
lagi, Azirwan bukanlah satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih
mendapatkan ruang gerak di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir
sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap dilantik meski
terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi, publik terus
menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti
moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak
dengan kondisi realitas sesungguhnya.
Karena itu, tak heran bahwa publik
melihat kini saatnya mekanisme ”hukuman sosial” diterapkan bagi
koruptor. Sejauh ini hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk
hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum positif.
Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan.
Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial menjadi salah
satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi.
Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling
banyak disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa,
seperti televisi atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen)
menyetujui bentuk hukuman tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak
masyarakat untuk tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi
politik. Terhadap bentuk itu, sebanyak 82,3 persen responden menyetujui.
Bentuk ketiga paling ekstrem, yaitu mengucilkan dari pergaulan
masyarakat, cenderung kurang disetujui.
Dibanding hukuman badan (penjara),
hukuman sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi.
Bagian terbesar publik jajak pendapat ini tetap melihat perlunya
pengenaan hukuman badan yang lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan
hukuman sosial. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan
sistem hukum, sepertiga bagian responden menegaskan perlunya kedua
mekanisme itu diterapkan bersamaan.
Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat
memang bisa dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus
asa publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku
korupsi. Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam
konteks politik bisa membahayakan perjalanan demokrasi karena
menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen, bahkan negara.
Hukuman sosial bagi koruptor, menurut
pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan
arti ”dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah
dahsyat dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang
terbukti korup bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di
tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas,
24/8).
Selain rasa tidak puas, minornya
pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi
menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya
sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif
terhadap pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan
komitmen aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk
kembali menduduki posisinya.
Pengangkatan mantan narapidana korupsi
dan sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis
moralitas bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman
utama dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga
berbagai polah tingkah politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai
menanggalkan etika dalam berpolitik.
Mayoritas responden menilai perlu
larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi PNS. Larangan
tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi pejabat publik itu
dimaksudkan agar muncul kepastian hukum untuk membangun moralitas
politik yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar